Minggu, Mei 30, 2010
Sabtu, Mei 29, 2010
Lee Ritenour - 1983 On The Run
001. Rit Variations
02. Starbright
03. On the Line
04. Tush
05. California Roll
06. Heavenly Bodies
07. Pedestrian
08. Dolphin Dreams
Jumat, Mei 28, 2010
Dibalik Lensa Event SG Solo 2010
0Selasa, Mei 25, 2010
Karimata - Biting
0Jumat, Mei 21, 2010
Musashi by Eiji Yoshikawa
0Buku 1 : TANAH
bagian 1
Takezo terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya. “Dunia sudah gila,” pikirnya samar. “Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup angin musim gugur.” Ia sendiri seperti satu di antara tubuh- tubuh tak bernyawa yang berserakan di sekitarnya. Ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya dapat meng- angkatnya beberapa inci dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah merasa begitu lemah. “Sudah berapa lama aku di sini?” ia bertanya-tanya. Lalat-lalat men- dengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan tangan untuk mengangkat tangan pun ia tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama tadi aku pingsan,” pikirnya sambil menggerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum begitu sadar bahwa dirinya sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya.
Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit. Malam sebelumnya, kira-kira antara tengah malam dan
fajar, hujan deras mengguyur daratan Sekigahara. Sekarang ini lewat tengah hari, tanggal lima belas bulan sembilan tahun 1600. Sekalipun topan telah berlalu, sekali-kali siraman hujan segar masih menimpa mayat-mayat itu, termasuk wajah Takezo yang tengadah. Tiap kali hujan menyiram, ia membuka dan menutup mulutnya seperti ikan, mencoba mereguk titik-titik air itu. “Seperti air yang dipakai mengusap bibir orang sekarat,” kenangnya sambil melahap setiap titik air yang datang. Kepalanya sudah hilang rasa, sedangkan pikirannya seperti bayang-bayang igauan yang melintas. Pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu. Kobayakawa Hideaki, yang dikiranya sekutu, ternyata diam-diam telah bergabung dengan Tentara Timur. Ketika ia menyerang pasukan Ishida Mitsunari pada senja hari, jalan pertempuran pun berubah. Ia kemudian menyerang tentara panglima-panglima yang lain – Ukita, Shimazu, dan Konishi. Maka sempurnalah keruntuhan Tentara Barat. Hanya dalam setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan siapa yang sejak itu akan memerintah negeri. Dialah Tokugawa Ieyasu, daimyo Edo yang perkasa. Bayangan kakak perempuannya dan penduduk desa yang sudah tua-tua mengambang di depan matanya. “Aku akan mati,” pikirnya tanpa rona sedih. “Jadi, beginikah rasanya?” Dan ia pun merasa tertarik ke arah kedamaian maut, seperti anak-anak yang terpesona oleh nyala api. Tiba-tiba salah satu mayat yang dekat dengannya mengangkat kepala, “Takezo!” Bayang-bayang dalam kepala Takezo menghilang. Seolah terbangun dari mati, ia pun menoleh ke arah suara itu. Ia yakin itu suara teman karibnya. Dengan segenap kekuatan, ia mengangkat tubuhnya sedikit dan ia paksakan keluar suara bisikan yang hampir tidak terdengar itu, karena kalah oleh titik-titik hujan.
“Matahachi, kaukah itu?” Lalu ia rebah, terbaring diam, mendengarkan.
“Takezo! Betul-betul kau masih hidup?”
“Ya, hidup!” serunya, tiba-tiba keluar pongahnya. “Dan kau? Kau sebaiknya jangan mati juga. Jangan berani-berani!” Matanya lebar terbuka sekarang, dan senyuman tipis bermain di bibirnya. “Mana bisa aku mati! O, tidak!” Sambil terengah-engah karena merangkak menyeret badan dengan susah payah, Matahachi pun mendekati sahabatnya setapak demi setapak. Ditangkapnya tangan Takezo, tapi yang ia cengkeram dengan kelingkingnya sendiri hanyalah kelingking temannya itu. Sebagai sahabat, sejak kanak-kanak mereka sering mematrikan janji dengan cara itu. Ia pun lebih mendekat lagi, dan kemudian menggenggam tangan sahabatnya itu seluruhnya. “Sungguh aku tak percaya kau hidup juga! Tentunya hanya kita yang selamat!”
“Jangan begitu terburu-buru! Aku belum mencoba berdiri.”
“Mari kubantu. Ayo kita pergi dari sini!” Tapi tiba-tiba saja Takezo menarik Matahachi ke tanah dan menggeram, “Pura-pura mati! Celaka lagi!” Bumi pun mulai menderum seperti kawah gunung. Lewat tangan mereka berdua tampak angin pusaran sedang mendekat. Dan semakin mendekat. Baris-baris penunggang kuda sehitam jelaga meluncur langsung menuju mereka berdua. “Bajingan! Mereka kembali!” kata Matahachi sambil terus mengangkat lutut, seolah-olah bersiap melompat. Takezo langsung menangkap pergelangan kakinya, hingga hampir-hampir mematahkannya, serta merenggutnya ke bumi. Dalam sekejap mata, para penunggang kuda sudah terbang melewati mereka. Beratus-ratus kaki kuda yang berlumpur dan menyimpan maut mencongklang dalam formasi, menyepelekan para samurai yang sudah tewas. Sambil memperdengarkan pekikan-pekikan perang, dan dengan zirah serta senjata berdentingan, para penunggang kuda itu melaju terus.
Matahachi berbaring menelungkup dengan mata terpejam, dengan harapan kosong semoga mereka tidak terinjak-injak, sedangkan Takezo menatap tanpa berkedip ke langit. Kuda-kuda itu begitu dekat dengan mereka, hingga mereka dapat mencium bau keringatnya. Kemudian semuanya berlalu. Secara ajaib mereka tidak terluka dan tidak dikenali, dan untuk beberapa menit lamanya keduanya tinggal diam tak percaya. “Selamat lagi!” kata Takezo sambil mengulurkan tangan kepada Matahachi. Masih merangkum bumi, pelan-pelan Matahachi memutar kepala, memperlihatkan seringai lebar yang sedikit bergetar. “Ada yang berpihak pada kita, itu pasti,” katanya parau. Kedua sahabat itu saling bantu berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan mereka melintasi medan pertempuran, menuju tempat aman di bukit-bukit berhutan, terpincang-pincang dan berangkulan. Di sana mereka rebah, dan sesudah beristirahat sebentar, mulailah mereka mencari-cari makanan. Dua hari mereka hidup dari buah berangan liar dan daun-daunan yang dapat dimakan di dalam lubang-lubang basah di Gunung Ibuki. Makanan itulah yang membuat mereka tidak mati kelaparan, tapi perut Takezo jadi sakit, dan usus Matahachi tersiksa. Tak ada makanan yang dapat mengenyangkannya, tak ada minuman yang dapat menghilangkan dahaganya, tapi ia merasa kekuatannya pulih kembali sedikit demi sedikit. Badai tanggal lima belas itu menandai akhir topan musim gugur. Kini hanya dua malam sesudahnya, bulan yang putih dingin sudah memandang muram ke bawah, dari langit yang tak berawan. Mereka berdua mengerti, betapa berbahayanya berada di jalan, dalam cahaya bulan terang. Bayangan mereka akan tampak seperti bayangan sasaran, yang dapat dengan jelas dilihat oleh patroli yang sedang mencari orang-orang yang berkeliaran. Keputusan untuk mengambil resiko itu datang dari Takezo. Melihat keadaan Matahachi yang begitu jelek – katanya lebih baik tertangkap daripada terus mencoba berjalan – agaknya memang tidak banyak pilihan lain. Mereka harus berjalan terus, tapi jelas pula bahwa mereka harus menemukan tempat untuk menyembunyikan diri dan beristirahat. Maka perlahan-lahan mereka pun berjalan menuju tempat yang menurut mereka adalah arah kecil Tarui.
“Bisa kau bertahan?” Tanya Takezo berulang-ulang. Dilingkarkannya tangan temannya itu ke bahunya sendiri, untuk membantunya berjalan. “Kau baik-baik saja, kan?” Napas berat temannya itulah yang mengkhawatirkannya. “Mau beristirahat?”
“Aku baik-baik saja.” Matahachi mencoba kedengaran berani, tapi wajahnya lebih pucat daripada bulan di atas mereka. Bahkan dengan lembing yang digunakannya sebagai tongkat pun hampir tidak dapat melangkahkan kaki. Beberapa kali ia meminta maaf merendah-rendah, “Maaf, Takezo. Aku tahu, akulah yang melambatkan jalan kita. Betul-betul aku minta maaf.”
Beberapa kali pula Takezo hanya menjawab dengan kata-kata, “Lupakan itu.” Tapi akhirnya, ketika mereka sudah berhenti untuk beristirahat, ia pun menoleh kepada temannya dan cetusnya, “Coba dengar, akulah yang mestinya minta maaf. Pertama-tama, akulah yang men- jerumuskanmu ke sini, ingat tidak? Kau ingat, bagaimana aku menyampaikan rencanaku padamu, bahwa akhirnya aku aku akan melakukan sesuatu yang bakal betul-betul mengesankan ayahku? Aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bahwa sampai meninggalnya, Ayah tetap yakin aku tak akan pernah mencapai sesuatu. Aku ingin perlihatkan padanya! Ha!” Ayah Takezo, Munisai, dulu mengabdi pada yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Begitu Takezo mendengar bahwa Ishida Mitsunari sedang membentuk tentara, ia pun yakin bahwa kesempatan yang hanya sekali seumur hidup akhirnya datang baginya. Ayahnya seorang samurai. Apakah tidak sewajarnya kalau ia pun menjadi samurai? Ingin sekali ia memasuki kancah keributan, untuk membuktikan keberaniannya, untuk membikin berita tersebar seperti api kebakaran melintas dusun: ia telah memenggal jenderal musuh. Ia sangat ingin mem- buktikan dirinya sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati – bukan hanya sebagai perisau dusun. Takezo mengingatkan Matahachi tentang semua itu, dan Matahachi mengangguk. “Aku tahu. Aku tahu. Tapi aku merasa begitu juga. Bukan hanya kau.”
Takezo melanjutkan, “Aku minta kau mengawaniku, karena kita memang selalu bersama-sama melakukan semuanya. Tapi perbuatan ibumu itu sungguh mengerikan! Dia berteriak-teriak mengatakan pada semua orang bahwa aku gila dan brengsek! Dan tunanganmu Otsu, saudara perempuanku, dan semua orang menangis. Katanya pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal di dusun. Ya, barangkali mereka benar juga. Kita ini anak laki-laki satu-satunya, dan kalau kita terbunuh, tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Tapi peduli apa? Apa begitu mestinya hidup?” Mereka berhasil menyelinap keluar dusun tanpa kelihatan orang, dan merasa yakin tidak ada lagi penghalang yang memisahkan mereka dengan kehormatan pertempuran. Namun ketika sampai di perkemahan Shimmen, mereka berhadapan dengan kenyataan perang. Mereka langsung diberitahu bahwa mereka tidak akan menjadi samurai dalam waktu singkat, bahkan tidak dalam beberapa minggu, tak peduli siapa ayah mereka. Bagi Ishida dan jenderal-jenderal lain, Takezo dan Matahachi hanyalah sepasang orang udik, tidak banyak lebihnya dari anak-anak yang kebetulan memegang sepasang lembing. Paling banyak yang dapat mereka peroleh adalah izin untuk tinggal di sana sebagai prajurit biasa. Tanggung jawab mereka, kalaupun dapat dinamakan demikian, hanyalah mengangkut senjata, periuk nasi, dan alat-alat rumah tangga lainnya, memotong rumput, mempengaruhi geng-geng jalanan, dan sesekali bertugas sebagai pandu. “Samurai, ha!” kata Takezo. “Lelucon macam apa pula. Kepala jenderal! Mendekati samurai musuh saja tidak, apalagi jenderal. Tapi setidak-tidaknya semua itu sudah lewat. Sekarang apa yang mau kita lakukan? Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendirian. Kalau itu kulakukan, bagaimana aku akan menghadapi ibumu dan Otsu?”
“Takezo, aku tidak menyalahkanmu karena kita celaka. Bukan salahmu kita kalah. Kalaupun ada yang mesti disalahkan, Kobayakawa-lah orangnya. Kobayakawa yang bermuka dua itu. Betul-betul aku ingin menangkapnya. Akan kubunuh bangsat itu!” Beberapa jam kemudian, mereka sudah berdiri di tepi dataran kecil, menyaksikan lautan miskantus yang serupa buluh, sudah berantakan dan patah-patah terkena badai. Tak ada rumah. Tak ada cahaya. Di sini pun banyak mayat, bergelimpangan seperti waktu jatuhnya. Kepala salah satu mayat itu tergeletak
dalam rumput tinggi. Ada juga yang menengadah di sungai kecil. Lainnya lagi tersangkut dengan anehnya pada seekor kuda mati. Hujan telah membasuh darah, dan dalam sinar bulan daging mati itu tampak seperti sisik ikan. Di sekitar semua itu, yang terdengar hanyalah litani giring-giring dan jangkrik musim gugur yang sepi.
download
Rabu, Mei 19, 2010
Kho Ping Hoo - Kang lam tjiu hiap (Pendekar Pemabuk)
0DI sekitar tahun 600, Tiongkok berada di bawah pemerintahan Kaisar Yang Ti yang lalim dan berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kaisar ini memeras dan memaksa rakyatnya untuk membuat bangunan-bangunan dan pekerjaan-pekerjaan raksasa dalam usahanya memperkuat pertahanan negaranya dan juga demi kesenangannya sendiri. Kota Lokyang di bangun kembali dengan hebat mempergunakan tukang-tukang dan ahli-ahli yang didatangkan dari tempat jauh di sebelah selatan sungat Yangtse. Sebagian dari para pekerja ini boleh dibilang dipekerjakan sampai mati. Hasil pekerjaan paksa yang banyak makan jiwa rakyat Tiongkok itu masih dapat disaksikan hingga sekarang. Kaisar Yang Ti memerintahkan untuk menggali saluran besar yang memanjang dari utara sampai ke selatan sungai Yangtse, yakni sampai ke Hongcou. Pekerjaan besar ini selain membutuhkan banyak sekali tenaga manusia, juga membutuhkan banyak biaya hingga kekayaan istana kaisar dikeduk habis. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu dan dengan kejam sekali Kaisar Yang Ti kembali memeras rakyat dengan memerintahkan agar pajak-pajak dibayar sepuluh tahun di muka. Selain pembuatan saluran besar itu, Kaisar Yang Ti juga memerintahkan agar supaya tembok besar diperbaiki dan dibetulkan, yang kembali memerlukan tenaga ahli dan tukang-tukang yang pandai serta tenaga pekerja-pekerja yang ribuan orang banyaknya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa apabila pemimpin jahat, anak buahnya pun kurang benar. Kaisar yang lalim itu bagaikan seorang guru memberi contoh buruk sekali kepada pembesar pembesarnya hingga pada waktu itu, para pembesar sebagian besar merupakan pemeraspemeras rakyat yang bahkan lebih kejam lagi dari pada Kaisarnya sendiri. Mereka mempergunakan segala macam akal dan kesempatan untuk memperkaya diri, sama sekali tidak memperdulikan keadaan rakyat yang diperas habis-habisan. Dan pada saat-saat yang amat menyedihkan bagi rakyat Tiongkok inilah cerita ini terjadi. Di sebelah selatan kota raja terdapat sebuah kota bernama Kiangsui.
Kota ini cukup ramai dan besar karena dekat dengan ibukota dan di situ terdapat banyak sekali rumah-rumah gedung yang indah dan megah. Hal ini tidak aneh oleh karena para pembesar dan hartawan mempergunakan kesempatan untuk memakai tenaga para ahli bangunan yang didatangkan oleh kaisar itu guna mendirikan gedung-gedungnya sendiri. Di tengah-tengah kota Kiang-sui terdapat sebuah gedung yang terbesar dan paling megah nampak dari luar, dan apabila orang masuk ke dalamnya, ia akan kagum melihat keindahan gedung itu. Perumahan ini tidak hanya terdiri dari satu bangunan, akan tetapi ada beberapa bangunan yang bentuknya menarik, ada yang bertingkat tiga, ada pula yang tidak bertingkat akan tetapi kesemuanya indah dan merupakan sekelompok bangunan yang dikelilingi tembok dua tombak tingginya. Kalau dilihat dari luar, yang nampak hanya dinding ini dan lotengloteng yang bercat warna warni menyedapkan mata. Gedung indah ini adalah tempat tinggal Residen atau Kepala Daerah di Kiang-sui yang bernama Liok Ong Gun. Kepala daerah ini memang keturunan bangsawan dan semenjak dahulu nenek-moyangnya memang orang-orang berpangkat yang setia dan mempunyai
kedudukan tinggi. Ia amat berpengaruh, tidak saja karena kedudukannya sebagai Kepala daerah, akan tetapi juga karena kekayaannya. Pada waktu itu, siapa yang kaya ia berkuasa, sedangkan Liok Ong Gun ini memang semenjak lahir boleh dibilang hidup di atas tumpukan harta benda. Liok Ong Gun berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan memelihara jenggot pendek yang hitam menghias muka bagian bawah, dari bawah telinga kiri sampai ke bawah telinga kanan. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam. Ia seorang yang pandai dalam ilmu sastera dan silat, dan di waktu mudanya ia telah mencapai gelar siucai setelah lulus dalam ujian di kotaraja. Dalam hal ilmu silat, iapun tidak lemah oleh karena ia menjadi murid dari ketua cabang Go-bi-pai
yang pada waktu itu meninggal dunia karena sakit. Permainan goloknya cukup lihai dan hal ini membuat ia lebih disegani orang. Dalam pernikahannya dengan seorang gadis bangsawan yang selain cantik juga berbudi halus, Liok Ong Gun memperoleh seorang anak tunggal. Anak ini perempuan dan diberi nama Liok Tin Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik seperti ibunya. Akan tetapi beradat keras dan galak seperti ayahnya. Biarpun dalam hal kepandaian membaca dan menulis, dara ini tidak sepandai ayahnya dan dalam hal pekerjaan tangan tidak sepandai ibunya, namun terdengar desas-desus orang bahwa dalam hal ilmu silat, dara ini jauh melebihi kelihaian ayahnya sendiri! Tin Eng sebagai puteri tunggal tentu saja manja sekali dan biarpun ia
disohorkan sebagai kembang kota Kiang-sui dan banyak sekali pemuda merindukannya, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka berani mengajukan pinangan. Kedudukan Liok Ong Gun memang amat kuat, selain ia sendiri memiliki kegagahan, iapun selalu dikawal oleh pasukan perwira Sayap Garuda yang berkepandaian tinggi. Selain para pengawal ini, iapun selalu didampingi oleh seorang kunsu atau penasehat yang cerdik pandai bernama Lauw Lui Tek yang bertubuh gemuk. Demikianlah keadaan penghuni gedung-gedung Kepala daerah itu dan selanjutnya masih banyak pula para pelayan yang mengerjakan segala macam pekerjaan sehingga gedunggedung di situ selain nampak indah juga bersih. Liok-hujin, isteri Liok Ong Gun tak pernah mencampuri urusan suaminya dan nyonya ini selalu tinggal di dalam, mengatur rumah tangga dan mengepalai semua pelayan yang amat taat dan tunduk terhadap nyonya yang berbudi halus itu. Dari pelayan wanita yang bekerja di dalam kamar sampai pelayan laki-laki yang bekerja di kebun atau di kandang kuda, semua amat taat dan setiap saat bersedia melakukan perintah Liok-hujin dengan senang hati. Pada suatu hari, seorang penjaga pintu gerbang
melaporkan kepada Liok Ong Gun bahwa di luar datang tiga orang tamu yang minta bertemu dengan Kepala daerah itu. “Siapakah mereka itu?” tanya Liok Ong Gun yang sedang duduk dengan Lauw Lui Tek dan beberapa orang perwiranya guna membicarakan perintah kaisar untuk membangun sebuah istana di atas bukit Bwee San sebelah timur kota Kiang-sui. “Hamba telah bertanya tentang nama mereka, akan tetapi mereka tidak mau memberi tahu, hanya supaya hamba melaporkan kepada taijin,” jawab penjaga itu dengan hormat. “Tamu-tamu yang tidak mau menyebutkan namanya tak perlu diterima,” kata Lauw Lui Tek, penasehat Kepala daerah itu dengan sikapnya yang hati-hati. “Kenapa kau tidak usir saja mereka dan berani melaporkan kedatangan orang-orang yang mencurigakan itu?” Liok Ong Gun menegur sehingga penjaga itu menjadi pucat.”Ampun, taijin. Tiga orang tamu itu bukanlah orang-orang biasa, maka hamba tidak berani bertindak sembarangan. Seorang di antara mereka adalah seorang hwesio gundul yang telah tua dan memelihara jenggot panjang, sikapnya agung dan di pundaknya tergantung pedang. Orang kedua juga seorang tosu tua yang gagah. Menurut pandangan hamba yang bodoh, mereka ini bukanlah orang-orang jahat, maka hamba berani berlaku lancang memberi laporan kepada taijin.” Liok Ong Gun merasa heran mendengar bahwa tamu-tamunya adalah dua orang pertapa dan seorang pemuda. Ketika Lauw Lui Tek hendak memaki penjaga itu, Liok Ong Gun mendahuluinya dan berkata kepada penjaga tadi, “Cobalah kau panggil mereka masuk.”Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara halus menegur, “Liok Ong Gun, kau benar-benar memegang aturan keras sekali!” Pembesar itu terkejut dan segera bangun dari tempat duduknya dan menuju ke ruang depan, diikuti oleh Lauw Lui Tek dan para perwira Sayap Garuda. Ketika mereka tiba di ruangan depan, muncullah tiga orang tamu tadi. Memang benar, ketiga orang itu terdiri dari seorang hwesio tua yang gagah, seorang tosu tua dan seorang anak muda yang tampan sekali. Melihat Hwesio berjubah hitam itu Liok Ong Gun merasa terkejut sekali dan ia cepatcepat menjura dengan hormatnya dan berkata, “Ah tidak tahunya susiok-couw (kakek guru) yang datang. Mohon maaf sebanyaknya karena teecu tidak mengetahui kedatangan susiok-couw terlebih dahulu hingga tak dapat mengadakan penyambutan yang layak. ”Hwesio itu tertawa bergelak dengan senangnya. Ia menoleh kepada tosu itu dan berkata, “Bong Bi Toyu, apa kataku tadi? Biarpun telah menjadi seorang pembesar tinggi, namun Liok Ong Gun tidak melupakan hubungan antara guru dan murid.” Tosu itu mengangguk-angguk puas dan tersenyum. Siapakah mereka ini? Hwesio tua itu sebenarnya adalah seorang tokoh besar dari Go-bi-san yang bernama Seng Le Hosiang dan kakek ini adalah paman guru dari suhu Liok Ong Gun, dengan demikian maka hwesio ini masih terhitung paman kakek gurunya! Adapun tosu itu juga bukan sembarang orang, karena ia ini adalah Bong Bi Sianjin, seorang yang sangat ternama dalam kalangan persilatan, sebagai tokoh besar dari Kim Lun San yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tosu ini adalah kawan baik Seng Le Hosiang. Liok Ong Gun dengan amat hormatnya lalu membungkukkan diri dan berkata, Susiokcouw dan kedua jiwi (tuan berdua) silahkan masuk dan duduk di dalam. ”Seng Le Hosiang sambil tersenyum di balik kumis dan jenggotnya yang putih itu berkata memperkenalkan, “Ketahuilah dulu, Liok Ong Gun. Kawanku ini adalah Bong Bi Sianjin, pertapa di bukit Kim Lun San, dan anak muda ini bernama Gan Bu Gi, murid Bong Bi Sianjin. Untuk keperluan mereka berdua inilah maka pinceng datang menjumpaimu.” Liok Ong Gun menjura kepada Bong Bi Sianjin dan Gan Bu Gi. Lalu ia memperkenalkan pula Lauw Lui Tek kepada mereka, demikian pula kelima orang perwira yang berada di situ.
Selasa, Mei 18, 2010
Mok Up SG Solo 2010
002. HP Black Berry Curve 8900
03. DV Handycam Sony
04. TV LCD LG
05. Home Theatre Sony
06. Kamera Digital Kodak Easyshare
07. Air Cooler HTC
08. DVD Player Sony
09. Cordless Phone Panasonic
10. HP Nokia
11. Honda Beat
12. Honda Revo
13. Sepeda Gunung
Design Poster SG - Solo 2010
002 Keris
03 Angklung
04 Perahu Pinisi
05 Badik
06 Jembatan Semanggi
07 Jembatan Tukad Bakung
08 Kereta Kencana
09 Borobudur
10 Bakar Batu
11 Barong
12 Gamelan
13 Tari Kecak
14 Monumen Nasional
15 Pasola
16 Tari Saman
17 Sumpit
18 Jembatan Suramadu
19 Tenun Ikat Sumba
20 Kirab Keraton Solo
Design SG Solo 2010 - In Line
0Backdrop Alternative 1
Backdrop Alternative 2
Photo Corner
Gate
Merchand Booth
Signage Design
Welcome Gate
Download all
Sabtu, Mei 15, 2010
Jumat, Mei 14, 2010
FILSAFAT - dimensi ontologis wayang sebagai simbol kehidupan
0Terdapat dua persoalan mendasar yang perlu diklarifikasi terkait dengan penelitian tentang filsafat wayang. Pertama, masalah filsafat wayang sebagai genetivus objektivus dan filsafat wayang sebagai genetivus subjektivus. Kedua, masalah yang masih bergayut dengan persoalan pertama, yaitu tentang objek material dan objek formal penelitian filsafat wayang. Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian filosofis yang masih berkisar pada filsafat wayang sebagai genetivus objektivus, artinya wayang sebagai objek material disoroti dari perspektif filsafat barat (sebagai objek formal).
Objek material penelitian filsafat wayang adalah “pergelaran wayang” sesuai “pakem” yang berlaku dalam “garap pekeliran” yang optimal. Elemenelemen dalam pergelaran wayang: peralatan, karawitan, cerita, pelaku (dalang, pangrawit, pesinden), dan penonton, dipandang sebagai “Simbol kehidupan” atau “wewanyangane ngaurip”. Kajian tentang simbol dan filsafat hidup akan dijelaskan pada uraian berikutnya. Sesuai dengan objek material, yakni sebagai simbol, maka objek formal atau metode yang dipakai adalah fenomenologi hermeneutik; sebuah metode yang mensintesiskan antara metode fenomenologi dengan hermeneutika (interpretasi). Menurut Paul Ricoeur (1976: 18), bahasa simbol hanya dapat ditangkap dan dipahami maknanya (hakikat, esensi) melalui pendekatan hermeneutika (interpretasi). Tugas filsafat adalah membangun makna simbol melalui interpretasi kreatif. Ricoeur menyebut hal itu sebagai deduksi transendental simbol-simbol, yang terdiri dari pembenaran suatu pengertian dengan menunjukkan bahwa pengertian itu dapat membentuk objek-objek.
download pdf
Bhaskara 86
0Kamis, Mei 13, 2010
Senin, Mei 10, 2010
Kho Ping Hoo - Suling Emas
0Pada jaman lima wangsa ( th.907- 960 ) , kerajaan Nan-Cao merupakan negara kecil di propinsi Yu-Nan sebelah selatan. Mungkin karena kecilnya kerajaan ini tidak dipandang mata oleh kerajaan lain, juga oleh kerajaan Sung yang kemudian di bangun. Akan tetapi, pada pagi hari di pertengahan musim chun ( semi ) itu, banyak sekali tokoh-tokoh terkenal di dunia kang-ouw termasuk ketua-ketua perkumpulan dari pelbagai aliran, orang-orang muda yang patut di sebut pendekar silat, dan orang-orang aneh yang memiliki kesaktian, Datang membanjiri Nan-cao. Apakah gerangan yang menarik para kelana dan petualangan itu mendatangi Nan-cao? Ada pula hal yang menarik mereka berdatangan dari tempat-tempat yang amat jauh.
Pertama adalah pengangkatan Beng-kauw ( Ketua Agama Beng-kauw ) sebagai Koksu ( Guru Negara ) Kerajaan Nan Cao. Mereka berdatangan untuk memberi selamat kepada Ketua Beng-kauw yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Siapakah tidak mengenal Ketua Agama Beng-kauw yang bernama Liu Gan dan berju-luk Pat-jiu Sin-ong ( Raja Sakti Berlengan Delapan ) Itu ? Pada masa itu, Pat-jiu Sin-ong Liu gan merupakan tokoh gemblengan yang jarang ditemukan keduanya, jarang menemukan tanding. Selain memiliki kesaktian hebat, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan juga merupakan pendiri Agama Beng-kauw atau pembawa agama itu dari barat. Tidaklah mengherankan kalau apabila kini tokah-tokoh dari partai persilatan besar seperti Siauw lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, dan lain-lain mengirim utusan untuk menghaturkan selamat atas pengangkatan tokoh sakti ini sebagai Koksu Kerajaan Nan-cao.
Adapun hal kedua yang meyebabkan terutama kaum muda, para pendekar perkasa dari
pelbagai penjuru dunia ikut pula berdatangan, adalah tersiarnya berita bahwa puteri tunggal
Pat-jiu Sin-ong hendak mempergunakan kesempatan berkumpulnya para tokoh persilatan itu
untuk mencari jodoh ! Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kaum muda, menggerakan hati
mereka untuk ikut datang mempergunakan kesempatan baik mengadu untung. Siapa tahu !
Nama Liu Lu Sian, puteri Ketua Beng Kauw itu sudah terkenal di mana-mana. Terkenal
sebagai seorang gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga memiliki kecantikan seperti dewi
khayangan. Terkenal pula betapa gadis jelita ini telah berani menolak pinangan-pinangan
yang datangnya dari orang-orang besar, dari putera-putera para ketua perkumpulan, bahkan
menolak pula pinangan dari istana beberapa kerajaan !
download
Kejawen
0Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup orang Jawa realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau merupakan kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan supranatural (adikodrati). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna ( dunia atas - dunia manusia - dunia bawah ). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata ( mikrokosmos ) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.
download
Jumat, Mei 07, 2010
Rabu, Mei 05, 2010
Minggu, Mei 02, 2010
Poster SG Purwokerto 2010
001 tari serimpi
02 wayang
03 reog ponorogo
04 tari saman
05 tari pendet
06 tari lilin
07 tari lengger (banyumas)
08 batik
09 kuda lumping
10 tari gong dayak
11 tari pakarena
12 tari topeng cirebon
13 rumah gadang minang
14 tari jaipong
15 budaya papua
16 monas
17 gedung DPR MPR
18 suramadu
19 tari gandrung banyuwangi
20 pencak silat
21 ngaben
22 jembatan semanggi
23 jembatan tukad bakung bali
24 tari remo
25 karapan sapi