Jumat, Mei 21, 2010
Musashi by Eiji Yoshikawa
0Buku 1 : TANAH
bagian 1
Takezo terbaring di antara mayat-mayat itu. Ribuan jumlahnya. “Dunia sudah gila,” pikirnya samar. “Manusia seperti daun kering, yang hanyut ditiup angin musim gugur.” Ia sendiri seperti satu di antara tubuh- tubuh tak bernyawa yang berserakan di sekitarnya. Ia mencoba mengangkat kepala, tapi hanya dapat meng- angkatnya beberapa inci dari tanah. Ia tak ingat, apakah pernah merasa begitu lemah. “Sudah berapa lama aku di sini?” ia bertanya-tanya. Lalat-lalat men- dengung di sekitar kepalanya. Ia ingin mengusirnya, tapi mengerahkan tangan untuk mengangkat tangan pun ia tak sanggup. Tangan itu kaku, hampir-hampir rapuh, seperti halnya bagian tubuh yang lain. “Tentunya sudah beberapa lama tadi aku pingsan,” pikirnya sambil menggerak-gerakkan jemarinya satu demi satu. Ia belum begitu sadar bahwa dirinya sudah terluka. Dua peluru bersarang erat di dalam pahanya.
Awan gelap mengerikan berlayar rendah di langit. Malam sebelumnya, kira-kira antara tengah malam dan
fajar, hujan deras mengguyur daratan Sekigahara. Sekarang ini lewat tengah hari, tanggal lima belas bulan sembilan tahun 1600. Sekalipun topan telah berlalu, sekali-kali siraman hujan segar masih menimpa mayat-mayat itu, termasuk wajah Takezo yang tengadah. Tiap kali hujan menyiram, ia membuka dan menutup mulutnya seperti ikan, mencoba mereguk titik-titik air itu. “Seperti air yang dipakai mengusap bibir orang sekarat,” kenangnya sambil melahap setiap titik air yang datang. Kepalanya sudah hilang rasa, sedangkan pikirannya seperti bayang-bayang igauan yang melintas. Pihaknya telah kalah. Ia tahu betul itu. Kobayakawa Hideaki, yang dikiranya sekutu, ternyata diam-diam telah bergabung dengan Tentara Timur. Ketika ia menyerang pasukan Ishida Mitsunari pada senja hari, jalan pertempuran pun berubah. Ia kemudian menyerang tentara panglima-panglima yang lain – Ukita, Shimazu, dan Konishi. Maka sempurnalah keruntuhan Tentara Barat. Hanya dalam setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan siapa yang sejak itu akan memerintah negeri. Dialah Tokugawa Ieyasu, daimyo Edo yang perkasa. Bayangan kakak perempuannya dan penduduk desa yang sudah tua-tua mengambang di depan matanya. “Aku akan mati,” pikirnya tanpa rona sedih. “Jadi, beginikah rasanya?” Dan ia pun merasa tertarik ke arah kedamaian maut, seperti anak-anak yang terpesona oleh nyala api. Tiba-tiba salah satu mayat yang dekat dengannya mengangkat kepala, “Takezo!” Bayang-bayang dalam kepala Takezo menghilang. Seolah terbangun dari mati, ia pun menoleh ke arah suara itu. Ia yakin itu suara teman karibnya. Dengan segenap kekuatan, ia mengangkat tubuhnya sedikit dan ia paksakan keluar suara bisikan yang hampir tidak terdengar itu, karena kalah oleh titik-titik hujan.
“Matahachi, kaukah itu?” Lalu ia rebah, terbaring diam, mendengarkan.
“Takezo! Betul-betul kau masih hidup?”
“Ya, hidup!” serunya, tiba-tiba keluar pongahnya. “Dan kau? Kau sebaiknya jangan mati juga. Jangan berani-berani!” Matanya lebar terbuka sekarang, dan senyuman tipis bermain di bibirnya. “Mana bisa aku mati! O, tidak!” Sambil terengah-engah karena merangkak menyeret badan dengan susah payah, Matahachi pun mendekati sahabatnya setapak demi setapak. Ditangkapnya tangan Takezo, tapi yang ia cengkeram dengan kelingkingnya sendiri hanyalah kelingking temannya itu. Sebagai sahabat, sejak kanak-kanak mereka sering mematrikan janji dengan cara itu. Ia pun lebih mendekat lagi, dan kemudian menggenggam tangan sahabatnya itu seluruhnya. “Sungguh aku tak percaya kau hidup juga! Tentunya hanya kita yang selamat!”
“Jangan begitu terburu-buru! Aku belum mencoba berdiri.”
“Mari kubantu. Ayo kita pergi dari sini!” Tapi tiba-tiba saja Takezo menarik Matahachi ke tanah dan menggeram, “Pura-pura mati! Celaka lagi!” Bumi pun mulai menderum seperti kawah gunung. Lewat tangan mereka berdua tampak angin pusaran sedang mendekat. Dan semakin mendekat. Baris-baris penunggang kuda sehitam jelaga meluncur langsung menuju mereka berdua. “Bajingan! Mereka kembali!” kata Matahachi sambil terus mengangkat lutut, seolah-olah bersiap melompat. Takezo langsung menangkap pergelangan kakinya, hingga hampir-hampir mematahkannya, serta merenggutnya ke bumi. Dalam sekejap mata, para penunggang kuda sudah terbang melewati mereka. Beratus-ratus kaki kuda yang berlumpur dan menyimpan maut mencongklang dalam formasi, menyepelekan para samurai yang sudah tewas. Sambil memperdengarkan pekikan-pekikan perang, dan dengan zirah serta senjata berdentingan, para penunggang kuda itu melaju terus.
Matahachi berbaring menelungkup dengan mata terpejam, dengan harapan kosong semoga mereka tidak terinjak-injak, sedangkan Takezo menatap tanpa berkedip ke langit. Kuda-kuda itu begitu dekat dengan mereka, hingga mereka dapat mencium bau keringatnya. Kemudian semuanya berlalu. Secara ajaib mereka tidak terluka dan tidak dikenali, dan untuk beberapa menit lamanya keduanya tinggal diam tak percaya. “Selamat lagi!” kata Takezo sambil mengulurkan tangan kepada Matahachi. Masih merangkum bumi, pelan-pelan Matahachi memutar kepala, memperlihatkan seringai lebar yang sedikit bergetar. “Ada yang berpihak pada kita, itu pasti,” katanya parau. Kedua sahabat itu saling bantu berdiri dengan susah payah. Pelan-pelan mereka melintasi medan pertempuran, menuju tempat aman di bukit-bukit berhutan, terpincang-pincang dan berangkulan. Di sana mereka rebah, dan sesudah beristirahat sebentar, mulailah mereka mencari-cari makanan. Dua hari mereka hidup dari buah berangan liar dan daun-daunan yang dapat dimakan di dalam lubang-lubang basah di Gunung Ibuki. Makanan itulah yang membuat mereka tidak mati kelaparan, tapi perut Takezo jadi sakit, dan usus Matahachi tersiksa. Tak ada makanan yang dapat mengenyangkannya, tak ada minuman yang dapat menghilangkan dahaganya, tapi ia merasa kekuatannya pulih kembali sedikit demi sedikit. Badai tanggal lima belas itu menandai akhir topan musim gugur. Kini hanya dua malam sesudahnya, bulan yang putih dingin sudah memandang muram ke bawah, dari langit yang tak berawan. Mereka berdua mengerti, betapa berbahayanya berada di jalan, dalam cahaya bulan terang. Bayangan mereka akan tampak seperti bayangan sasaran, yang dapat dengan jelas dilihat oleh patroli yang sedang mencari orang-orang yang berkeliaran. Keputusan untuk mengambil resiko itu datang dari Takezo. Melihat keadaan Matahachi yang begitu jelek – katanya lebih baik tertangkap daripada terus mencoba berjalan – agaknya memang tidak banyak pilihan lain. Mereka harus berjalan terus, tapi jelas pula bahwa mereka harus menemukan tempat untuk menyembunyikan diri dan beristirahat. Maka perlahan-lahan mereka pun berjalan menuju tempat yang menurut mereka adalah arah kecil Tarui.
“Bisa kau bertahan?” Tanya Takezo berulang-ulang. Dilingkarkannya tangan temannya itu ke bahunya sendiri, untuk membantunya berjalan. “Kau baik-baik saja, kan?” Napas berat temannya itulah yang mengkhawatirkannya. “Mau beristirahat?”
“Aku baik-baik saja.” Matahachi mencoba kedengaran berani, tapi wajahnya lebih pucat daripada bulan di atas mereka. Bahkan dengan lembing yang digunakannya sebagai tongkat pun hampir tidak dapat melangkahkan kaki. Beberapa kali ia meminta maaf merendah-rendah, “Maaf, Takezo. Aku tahu, akulah yang melambatkan jalan kita. Betul-betul aku minta maaf.”
Beberapa kali pula Takezo hanya menjawab dengan kata-kata, “Lupakan itu.” Tapi akhirnya, ketika mereka sudah berhenti untuk beristirahat, ia pun menoleh kepada temannya dan cetusnya, “Coba dengar, akulah yang mestinya minta maaf. Pertama-tama, akulah yang men- jerumuskanmu ke sini, ingat tidak? Kau ingat, bagaimana aku menyampaikan rencanaku padamu, bahwa akhirnya aku aku akan melakukan sesuatu yang bakal betul-betul mengesankan ayahku? Aku sungguh tak bisa menerima kenyataan bahwa sampai meninggalnya, Ayah tetap yakin aku tak akan pernah mencapai sesuatu. Aku ingin perlihatkan padanya! Ha!” Ayah Takezo, Munisai, dulu mengabdi pada yang Dipertuan Shimmen dari Iga. Begitu Takezo mendengar bahwa Ishida Mitsunari sedang membentuk tentara, ia pun yakin bahwa kesempatan yang hanya sekali seumur hidup akhirnya datang baginya. Ayahnya seorang samurai. Apakah tidak sewajarnya kalau ia pun menjadi samurai? Ingin sekali ia memasuki kancah keributan, untuk membuktikan keberaniannya, untuk membikin berita tersebar seperti api kebakaran melintas dusun: ia telah memenggal jenderal musuh. Ia sangat ingin mem- buktikan dirinya sebagai orang yang harus diperhitungkan, dihormati – bukan hanya sebagai perisau dusun. Takezo mengingatkan Matahachi tentang semua itu, dan Matahachi mengangguk. “Aku tahu. Aku tahu. Tapi aku merasa begitu juga. Bukan hanya kau.”
Takezo melanjutkan, “Aku minta kau mengawaniku, karena kita memang selalu bersama-sama melakukan semuanya. Tapi perbuatan ibumu itu sungguh mengerikan! Dia berteriak-teriak mengatakan pada semua orang bahwa aku gila dan brengsek! Dan tunanganmu Otsu, saudara perempuanku, dan semua orang menangis. Katanya pemuda-pemuda dusun seharusnya tinggal di dusun. Ya, barangkali mereka benar juga. Kita ini anak laki-laki satu-satunya, dan kalau kita terbunuh, tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Tapi peduli apa? Apa begitu mestinya hidup?” Mereka berhasil menyelinap keluar dusun tanpa kelihatan orang, dan merasa yakin tidak ada lagi penghalang yang memisahkan mereka dengan kehormatan pertempuran. Namun ketika sampai di perkemahan Shimmen, mereka berhadapan dengan kenyataan perang. Mereka langsung diberitahu bahwa mereka tidak akan menjadi samurai dalam waktu singkat, bahkan tidak dalam beberapa minggu, tak peduli siapa ayah mereka. Bagi Ishida dan jenderal-jenderal lain, Takezo dan Matahachi hanyalah sepasang orang udik, tidak banyak lebihnya dari anak-anak yang kebetulan memegang sepasang lembing. Paling banyak yang dapat mereka peroleh adalah izin untuk tinggal di sana sebagai prajurit biasa. Tanggung jawab mereka, kalaupun dapat dinamakan demikian, hanyalah mengangkut senjata, periuk nasi, dan alat-alat rumah tangga lainnya, memotong rumput, mempengaruhi geng-geng jalanan, dan sesekali bertugas sebagai pandu. “Samurai, ha!” kata Takezo. “Lelucon macam apa pula. Kepala jenderal! Mendekati samurai musuh saja tidak, apalagi jenderal. Tapi setidak-tidaknya semua itu sudah lewat. Sekarang apa yang mau kita lakukan? Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini sendirian. Kalau itu kulakukan, bagaimana aku akan menghadapi ibumu dan Otsu?”
“Takezo, aku tidak menyalahkanmu karena kita celaka. Bukan salahmu kita kalah. Kalaupun ada yang mesti disalahkan, Kobayakawa-lah orangnya. Kobayakawa yang bermuka dua itu. Betul-betul aku ingin menangkapnya. Akan kubunuh bangsat itu!” Beberapa jam kemudian, mereka sudah berdiri di tepi dataran kecil, menyaksikan lautan miskantus yang serupa buluh, sudah berantakan dan patah-patah terkena badai. Tak ada rumah. Tak ada cahaya. Di sini pun banyak mayat, bergelimpangan seperti waktu jatuhnya. Kepala salah satu mayat itu tergeletak
dalam rumput tinggi. Ada juga yang menengadah di sungai kecil. Lainnya lagi tersangkut dengan anehnya pada seekor kuda mati. Hujan telah membasuh darah, dan dalam sinar bulan daging mati itu tampak seperti sisik ikan. Di sekitar semua itu, yang terdengar hanyalah litani giring-giring dan jangkrik musim gugur yang sepi.
download
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Musashi by Eiji Yoshikawa"
Posting Komentar