DI sekitar tahun 600, Tiongkok berada di bawah pemerintahan Kaisar Yang Ti yang lalim dan berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kaisar ini memeras dan memaksa rakyatnya untuk membuat bangunan-bangunan dan pekerjaan-pekerjaan raksasa dalam usahanya memperkuat pertahanan negaranya dan juga demi kesenangannya sendiri. Kota Lokyang di bangun kembali dengan hebat mempergunakan tukang-tukang dan ahli-ahli yang didatangkan dari tempat jauh di sebelah selatan sungat Yangtse. Sebagian dari para pekerja ini boleh dibilang dipekerjakan sampai mati. Hasil pekerjaan paksa yang banyak makan jiwa rakyat Tiongkok itu masih dapat disaksikan hingga sekarang. Kaisar Yang Ti memerintahkan untuk menggali saluran besar yang memanjang dari utara sampai ke selatan sungai Yangtse, yakni sampai ke Hongcou. Pekerjaan besar ini selain membutuhkan banyak sekali tenaga manusia, juga membutuhkan banyak biaya hingga kekayaan istana kaisar dikeduk habis. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu dan dengan kejam sekali Kaisar Yang Ti kembali memeras rakyat dengan memerintahkan agar pajak-pajak dibayar sepuluh tahun di muka. Selain pembuatan saluran besar itu, Kaisar Yang Ti juga memerintahkan agar supaya tembok besar diperbaiki dan dibetulkan, yang kembali memerlukan tenaga ahli dan tukang-tukang yang pandai serta tenaga pekerja-pekerja yang ribuan orang banyaknya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa apabila pemimpin jahat, anak buahnya pun kurang benar. Kaisar yang lalim itu bagaikan seorang guru memberi contoh buruk sekali kepada pembesar pembesarnya hingga pada waktu itu, para pembesar sebagian besar merupakan pemeraspemeras rakyat yang bahkan lebih kejam lagi dari pada Kaisarnya sendiri. Mereka mempergunakan segala macam akal dan kesempatan untuk memperkaya diri, sama sekali tidak memperdulikan keadaan rakyat yang diperas habis-habisan. Dan pada saat-saat yang amat menyedihkan bagi rakyat Tiongkok inilah cerita ini terjadi. Di sebelah selatan kota raja terdapat sebuah kota bernama Kiangsui.
Kota ini cukup ramai dan besar karena dekat dengan ibukota dan di situ terdapat banyak sekali rumah-rumah gedung yang indah dan megah. Hal ini tidak aneh oleh karena para pembesar dan hartawan mempergunakan kesempatan untuk memakai tenaga para ahli bangunan yang didatangkan oleh kaisar itu guna mendirikan gedung-gedungnya sendiri. Di tengah-tengah kota Kiang-sui terdapat sebuah gedung yang terbesar dan paling megah nampak dari luar, dan apabila orang masuk ke dalamnya, ia akan kagum melihat keindahan gedung itu. Perumahan ini tidak hanya terdiri dari satu bangunan, akan tetapi ada beberapa bangunan yang bentuknya menarik, ada yang bertingkat tiga, ada pula yang tidak bertingkat akan tetapi kesemuanya indah dan merupakan sekelompok bangunan yang dikelilingi tembok dua tombak tingginya. Kalau dilihat dari luar, yang nampak hanya dinding ini dan lotengloteng yang bercat warna warni menyedapkan mata. Gedung indah ini adalah tempat tinggal Residen atau Kepala Daerah di Kiang-sui yang bernama Liok Ong Gun. Kepala daerah ini memang keturunan bangsawan dan semenjak dahulu nenek-moyangnya memang orang-orang berpangkat yang setia dan mempunyai
kedudukan tinggi. Ia amat berpengaruh, tidak saja karena kedudukannya sebagai Kepala daerah, akan tetapi juga karena kekayaannya. Pada waktu itu, siapa yang kaya ia berkuasa, sedangkan Liok Ong Gun ini memang semenjak lahir boleh dibilang hidup di atas tumpukan harta benda. Liok Ong Gun berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan memelihara jenggot pendek yang hitam menghias muka bagian bawah, dari bawah telinga kiri sampai ke bawah telinga kanan. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam. Ia seorang yang pandai dalam ilmu sastera dan silat, dan di waktu mudanya ia telah mencapai gelar siucai setelah lulus dalam ujian di kotaraja. Dalam hal ilmu silat, iapun tidak lemah oleh karena ia menjadi murid dari ketua cabang Go-bi-pai
yang pada waktu itu meninggal dunia karena sakit. Permainan goloknya cukup lihai dan hal ini membuat ia lebih disegani orang. Dalam pernikahannya dengan seorang gadis bangsawan yang selain cantik juga berbudi halus, Liok Ong Gun memperoleh seorang anak tunggal. Anak ini perempuan dan diberi nama Liok Tin Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik seperti ibunya. Akan tetapi beradat keras dan galak seperti ayahnya. Biarpun dalam hal kepandaian membaca dan menulis, dara ini tidak sepandai ayahnya dan dalam hal pekerjaan tangan tidak sepandai ibunya, namun terdengar desas-desus orang bahwa dalam hal ilmu silat, dara ini jauh melebihi kelihaian ayahnya sendiri! Tin Eng sebagai puteri tunggal tentu saja manja sekali dan biarpun ia
disohorkan sebagai kembang kota Kiang-sui dan banyak sekali pemuda merindukannya, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka berani mengajukan pinangan. Kedudukan Liok Ong Gun memang amat kuat, selain ia sendiri memiliki kegagahan, iapun selalu dikawal oleh pasukan perwira Sayap Garuda yang berkepandaian tinggi. Selain para pengawal ini, iapun selalu didampingi oleh seorang kunsu atau penasehat yang cerdik pandai bernama Lauw Lui Tek yang bertubuh gemuk. Demikianlah keadaan penghuni gedung-gedung Kepala daerah itu dan selanjutnya masih banyak pula para pelayan yang mengerjakan segala macam pekerjaan sehingga gedunggedung di situ selain nampak indah juga bersih. Liok-hujin, isteri Liok Ong Gun tak pernah mencampuri urusan suaminya dan nyonya ini selalu tinggal di dalam, mengatur rumah tangga dan mengepalai semua pelayan yang amat taat dan tunduk terhadap nyonya yang berbudi halus itu. Dari pelayan wanita yang bekerja di dalam kamar sampai pelayan laki-laki yang bekerja di kebun atau di kandang kuda, semua amat taat dan setiap saat bersedia melakukan perintah Liok-hujin dengan senang hati. Pada suatu hari, seorang penjaga pintu gerbang
melaporkan kepada Liok Ong Gun bahwa di luar datang tiga orang tamu yang minta bertemu dengan Kepala daerah itu. “Siapakah mereka itu?” tanya Liok Ong Gun yang sedang duduk dengan Lauw Lui Tek dan beberapa orang perwiranya guna membicarakan perintah kaisar untuk membangun sebuah istana di atas bukit Bwee San sebelah timur kota Kiang-sui. “Hamba telah bertanya tentang nama mereka, akan tetapi mereka tidak mau memberi tahu, hanya supaya hamba melaporkan kepada taijin,” jawab penjaga itu dengan hormat. “Tamu-tamu yang tidak mau menyebutkan namanya tak perlu diterima,” kata Lauw Lui Tek, penasehat Kepala daerah itu dengan sikapnya yang hati-hati. “Kenapa kau tidak usir saja mereka dan berani melaporkan kedatangan orang-orang yang mencurigakan itu?” Liok Ong Gun menegur sehingga penjaga itu menjadi pucat.”Ampun, taijin. Tiga orang tamu itu bukanlah orang-orang biasa, maka hamba tidak berani bertindak sembarangan. Seorang di antara mereka adalah seorang hwesio gundul yang telah tua dan memelihara jenggot panjang, sikapnya agung dan di pundaknya tergantung pedang. Orang kedua juga seorang tosu tua yang gagah. Menurut pandangan hamba yang bodoh, mereka ini bukanlah orang-orang jahat, maka hamba berani berlaku lancang memberi laporan kepada taijin.” Liok Ong Gun merasa heran mendengar bahwa tamu-tamunya adalah dua orang pertapa dan seorang pemuda. Ketika Lauw Lui Tek hendak memaki penjaga itu, Liok Ong Gun mendahuluinya dan berkata kepada penjaga tadi, “Cobalah kau panggil mereka masuk.”Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara halus menegur, “Liok Ong Gun, kau benar-benar memegang aturan keras sekali!” Pembesar itu terkejut dan segera bangun dari tempat duduknya dan menuju ke ruang depan, diikuti oleh Lauw Lui Tek dan para perwira Sayap Garuda. Ketika mereka tiba di ruangan depan, muncullah tiga orang tamu tadi. Memang benar, ketiga orang itu terdiri dari seorang hwesio tua yang gagah, seorang tosu tua dan seorang anak muda yang tampan sekali. Melihat Hwesio berjubah hitam itu Liok Ong Gun merasa terkejut sekali dan ia cepatcepat menjura dengan hormatnya dan berkata, “Ah tidak tahunya susiok-couw (kakek guru) yang datang. Mohon maaf sebanyaknya karena teecu tidak mengetahui kedatangan susiok-couw terlebih dahulu hingga tak dapat mengadakan penyambutan yang layak. ”Hwesio itu tertawa bergelak dengan senangnya. Ia menoleh kepada tosu itu dan berkata, “Bong Bi Toyu, apa kataku tadi? Biarpun telah menjadi seorang pembesar tinggi, namun Liok Ong Gun tidak melupakan hubungan antara guru dan murid.” Tosu itu mengangguk-angguk puas dan tersenyum. Siapakah mereka ini? Hwesio tua itu sebenarnya adalah seorang tokoh besar dari Go-bi-san yang bernama Seng Le Hosiang dan kakek ini adalah paman guru dari suhu Liok Ong Gun, dengan demikian maka hwesio ini masih terhitung paman kakek gurunya! Adapun tosu itu juga bukan sembarang orang, karena ia ini adalah Bong Bi Sianjin, seorang yang sangat ternama dalam kalangan persilatan, sebagai tokoh besar dari Kim Lun San yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tosu ini adalah kawan baik Seng Le Hosiang. Liok Ong Gun dengan amat hormatnya lalu membungkukkan diri dan berkata, Susiokcouw dan kedua jiwi (tuan berdua) silahkan masuk dan duduk di dalam. ”Seng Le Hosiang sambil tersenyum di balik kumis dan jenggotnya yang putih itu berkata memperkenalkan, “Ketahuilah dulu, Liok Ong Gun. Kawanku ini adalah Bong Bi Sianjin, pertapa di bukit Kim Lun San, dan anak muda ini bernama Gan Bu Gi, murid Bong Bi Sianjin. Untuk keperluan mereka berdua inilah maka pinceng datang menjumpaimu.” Liok Ong Gun menjura kepada Bong Bi Sianjin dan Gan Bu Gi. Lalu ia memperkenalkan pula Lauw Lui Tek kepada mereka, demikian pula kelima orang perwira yang berada di situ.
Rabu, Mei 19, 2010
Kho Ping Hoo - Kang lam tjiu hiap (Pendekar Pemabuk)
0
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Kho Ping Hoo - Kang lam tjiu hiap (Pendekar Pemabuk)"
Posting Komentar